Sedihnya
Berpisah Dengan Ramadhan
Ramadhan sudah di penghujung bulan. Dalam
hitungan hari kita akan berpisah dengan Ramadhan. Bulan mulia yang penuh
barokah dan ampunan. Apakah kita telah memanfaatkan Ramadhan dengan sebaiknya?
Atau malah ‘memperlakukan’ Ramadhan seperti bulan biasanya? Shalat kita mungkin
tak beda dengan saat shalat selain Ramadhan, shaum kita tak sempurna, shadaqah
kita dihiasi dengan sikap riya’,ujub, dan amalan lainnya yang kita khawatir
sia-sia belaka. Naudzubillah min dzalik.
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba Allah Swt. yang pandai bersyukur atas
segala nikmat yang diberikanNya. Memanfaatkan Ramadhan sebaik mungkin demi
mengumpulkan pahala. Semoga.
Teringat sebuah puisi karya Taufik Ismail,
puisi itu berjudul “Setiap Habis Ramadhan”, yang dilagukan oleh Bimbo. Syairnya
begitu syarat makna dan mendalam. Inilah bait-bait puisi beliau: Setiap habis ramadhan/ hamba rindu lagi
ramadhan/ Saat-saat padat beribadah/ tak terhingga nilai mahalnya/ setiap habis
ramadhan/ hamba cemas kalau tak sampai/ umur hamba di tahun depan/ berilah
hamba kesempatan/ Setiap habis Ramadhan Rindu hamba tak pernah menghilang Mohon
tambah umur setahun lagi Berilah hamba kesempatan/Alangkah nikmat ibadah bulan
Ramadhan/ Sekeluarga, sekampung, senegara Kaum muslimin dan muslimat se
dunia/Seluruhnya kumpul di persatukan Dalam memohon ridho-Nya.
Tidak terasa bulan Ramadhan udah berada di akhir
perjalanannya. Sepertinya baru kemarin kita bergembira dengan datangnya
Ramadhan. kemarin kita mengawali indahnya sahur dan buka pertama dalam puasa
kita. kemarin pula kita sama-sama ikutan tarawih pertama berjamaah di masjid.
Begitulah. Waktu memang berjalan tanpa kompromi. Meninggalkan kita.
Kita pantas merenung. Di sepuluh hari terakhir
yang tersisa di bulan Ramadhan ini, apa yang akan kita lakukan? Menghitung hari
seperti kemarin dengan tanpa ada aktivitas amal sholeh? Atau sekadar mengisinya
dengan hal-hal yang amat jauh dari nilai-nilai Islam? Rasanya, kita semua udah
pada tahu, apa yang harus kita lakukan. Tapi celakanya, kita juga seringkali
lalai dengan apa yang seharusnya kita lakukan.
Senang, sedih, dan cemas jadi satu
Setiap habis Ramadhan, ada perasaan Senang,
sedih, cemas yang muncul di hati kita. Bercampur jadi satu.
Perasaan
senang muncul karena setidaknya kita merasa berhasil telah lolos dari medan
ujian yang berat sebagai pemenang. Benar-benar sangat berat. Sebab, selain
harus menahan diri dari rasa lapar yang mengiris-ngiris lambung kita, selain
harus menahan haus yang terasa mengeringkan kerongkongan kita, juga kita
dituntut oleh Allah Swt. untuk mengendalikan hawa nafsu kita. Tujuannya, agar
puasa kita juga dibarengi dengan tambahan pahala yang lain dari Allah Swt. Perasaan sedih juga muncul dari kita. Kenapa sedih dengan berakhirnya Ramadhan? Karena kita kehilangan kesempatan emas untuk menanam pahala di bulan tersebut. Sedih rasanya merasakan perpisahan dengan bulan yang telah dimuliakan Allah sebagai tempat untuk ‘menimbun’ pahala. Lebih sedih lagi kalo kita sampe tak mendapat apa-apa di bulan Ramadhan ini, kecuali rasa lapar dan haus. Atau lebih rugi lagi adalah nggak dapat apa-apa. Termasuk nggak dapat pahala puasa karena memang nggak puasa. Duh, rugi berat deh.
Rasa cemas juga kerap muncul dari kita. Khususnya bagi kita-kita yang memang telah mengisi Ramadhan tahun ini dengan segala aktivitas amal sholeh kita. Sehingga setiap habis Ramadhan, yang dirindukan adalah kembali bisa menikmati Ramadhan di tahun depan. Namun, ada kecemasan yang menggunung manakala menyadari dan khawatir jika usia kita nggak sampe di Ramadhan berikutnya. Harapan dan kecemasan bercampur jadi satu. Sampe kita sendiri nggak tahu, apa sebetulnya yang kita inginkan. Sebab, antara harapan dan kecemasan kelihatannya saling melengkapi. Setiap kali kita berharap, selalu saja ada kecemasan, meski sekecil apapun rasa cemas itu.
Perasaan-perasan tadi muncul secara wajar
dalam diri kita. Alhamdulillah, semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang
bertakwa. Tapi jika sebaliknya, jika kita tak pernah merasa senang, sedih,
apalagi cemas dengan habisnya Ramadhan ini, sepantesnya kita mulai mengukur
diri . Sudah seberapa pantas menjadi seorang muslim. Dan itu berarti pula kita
adalah termasuk manusia tidak peduli dengan masa depan kita sendiri. Sungguh
keras hati kita jika tak pernah ada ungkapan dari perasaan hati kita ini. Meski
cuma diungkapkan setitik saja. Ah, rasanya kita pantas untuk ‘dimurkai’ Allah. Naudzubillahi min dzalik!
Kita seharusnya malu sama Allah. Pantas ‘berhutang’ kepada Allah. Betapa banyak rizki dari Allah yang telah kita makan. Betapa banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan. Betapa tak ternilai harganya ketika Allah menjadikan kita sebagai seorang muslim. Sebab, menjadi muslim, adalah petunjuk dari Allah. Itu adalah hidayah-Nya. Dan itu tak semudah membalikkan telapan tangan.
Kita seharusnya malu sama Allah. Pantas ‘berhutang’ kepada Allah. Betapa banyak rizki dari Allah yang telah kita makan. Betapa banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan. Betapa tak ternilai harganya ketika Allah menjadikan kita sebagai seorang muslim. Sebab, menjadi muslim, adalah petunjuk dari Allah. Itu adalah hidayah-Nya. Dan itu tak semudah membalikkan telapan tangan.
Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat
Rasulullah, begitu berat menghadapi kenyataan ketika beliau menjadi muslim.
Sang ibu melakukan protes keras dengan mengancam akan melakukan mogok makan
sampe tuntutannya agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyangnya dipenuhi Sa’ad.
Tapi Sa’ad tak mudah untuk tergoda lagi. Berat bukan? Begitupun dengan Amr bin
Yassir, yang harus rela melihat dengan mata-kepalanya sendiri orangtuanya
menemui ajal di tangan orang-orang kafir Quraisy karena mempertahankan
keyakinan mereka tentang Islam. Begitu pula, pernahkah kamu membayangkan
bagaimana menderitanya Salman al-Farisi yang berusaha mencari kebenaran. Sempat
pindah-pindah keyakinan sebelum akhirnya istiqomah dengan Islam. Saking
istiqomahnya dengan Islam, beliau rela hidup menderita untuk membela Islam.
Wajar kan, jika nilai keimanan beliau-beliau
boleh dibilang sangat mahal ketika ‘membelinya’. Amat beda dengan kita yang
langsung instan. Karena memang lahir dan dididik di lingkungan keluarga muslim.
Tapi walau bagaimanapun juga, ini merupakan hidayah dari Allah Swt. juga.
Tinggal bagaimana kita mensyukurinya. Salah satunya adalah dengan taat terhadap
apa yang diturunkan Allah Swt. kepada kita. Wajib tunduk dan patuh terhadap
perintahNya.
Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang
mendapat berkah, rahmat, dan ampunan. Dan senantiasa memohon kepada Allah agar kita
digolongkan kepada orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di
muka bumi ini.. Semoga Allah Swt. memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu
Ramadhan di tahun depan.