Idul Fitri adalah hari raya yang datang
berulangkali setiap tanggal 1 Syawal, yang menandai puasa telah selesai dan
kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya kata fitri di sini
diartikan “berbuka” atau “berhenti puasa” yang identik dengan makan minum. Maka
tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan makan-makan dan minum-minum yang
tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Terminologi yang Salah
Terminologi Idul Fitri seperti ini
harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna idul
fitri sendiri juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri
seharusnya dimaknai sebagai ‘Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang
suci‘ sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor,
kelahiran kembali ini berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan
dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam,
tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Makna Idul Fitri yang Asli
Idul Fitri berarti kembali kepada
naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada keberagamaan yang lurus, dan
kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami, Inilah makna Idul Fitri
yang asli.
Kesalahan Besar
Adalah kesalahan besar apabila Idul
Firi dimaknai dengan ‘Perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum‘
sehingga tadinya dilarang makan di siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan
balas dendam, atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang
tadinya dilarang dan ditinggalkan kemudian. Karena Ramadhan sudah usai maka
keniaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan.
Ringkasnya kesalahan itu pada akhirnya
menimbulkan sebuah fenomena umat yang shaleh mustman, bukan umat yang berupaya
mempertahankan kefitrahan dan nilai ketaqwaan.
Ketika merayakan Idul Fitri setidaknya
ada tiga sikap yang harus kitapunyai, yaitu:
- Rasa penuh harap kepada AllahSWT (Raja’). Harap akan diampuni dosa-dosa yang berlalu. Janji Allah SWT akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras” sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
- Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasayang kita lakukan telah sarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja Di siang bulan Ramadhan kitaberpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataari yang menyakitkan orang lain. Kita harus terhindar dari sabda Nabi SAW yang mengatakan banyakorangyang hanya sekedar berpuasa saja: “Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar dan dahaga“.
- Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa sehantsnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102).
Sumber
: Lembar Risalah An-Natijah No. 39/Thn. XIII - 26 September 2008